Kamis, 31 Mei 2012

Kepemimpinan ( Sifat, Gaya, dan Tipe )


Sifat Kepemimpinan
            Sifat pemimpin sangat tepat digunakan sebagai kriteria untuk mengukur kualitas kepemimpinannya. Jadi sukses atau gagalnya kepemimpinan dapat dilihat dari sifat pemimpinnya. Semakin baik sifat pemimpinnya maka semakin baik hasil kepemimpinan yang didapat, begitu juga sebaliknya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sifat adalah ciri khas yang ada pada sesuatu. Maka untuk mewujudkan kesuksesan dalam kepemimpinan diperlukan suatu sifat-sifat kepemimpinan yang baik secara universal.
a.    Kecerdasan (Intellegence)
    Stogdill menemukan suatu kecenderungan umum yang menunjukkan bahwa pemimpin lebih cerdas dari pengikutnya. Meliputi pertimbangan, ketegasan, pengetahuan, dan kefasihan berbicara.
b.    Kepribadian (Personality)
     Sifat kepribadian seperti keuletan, orisinalitas, integritas pribadi, kepercayaan diri, kemampuan adaptasi, kewaspadaan, kreativitas, keseimbangan dan pengendalian emosional, serta mandiri berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif.
c.    Karakteristik Fisik (Physical Characteristics)
    Studi tentang hubungan antara kepemimpinan yang efektif dengan karakteristik fisik seperti umur, tinggi, berat badan, dan penampilan mengungkapkan hasil yang bertentangan. Tubuh yang terlalu tinggi dan terlalu berat dibanding rata – rata kelompok tentunya tidak menguntungkan untuk mencapai posisi kepemimpinan. Akan tetapi, banyak juga organisasi yang membutuhkan orang dengan fisik yang besar untuk menjamin kepatuhan pengikutnya.
d.   Kemampuan Supervisi
    Kemampuan supervisi didefinisikan sebagai pendayagunaan segala bentuk praktek supervisi secara efektif ditunjukkan oleh persyaratan situasi tertentu. Meliputi, kemampuan memperoleh kerja sama, kerja sama, popularitas dan prestige, kemampuan bergaul, partisipasi sosial, dan bijaksana (Gibson : 1985).
Kelemahan dari pendekatan menurut sifat ini adalah tidak menyediakan gambaran tentang apa yang dilakukan pemimpin yang efektif pada pekerjaan yang bersangkutan.
Gaya Kepemimpinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya adalah sikap; gerakan; tingkah laku. Menurut Mondy Mondy (1991) dalam buku “Management Concepts, Practices, and Skills”, terdapat 4 dasar gaya kepemimpinan seorang pemimpin dalam memimpin yaitu otokratis, parsitipatif, demokratis dan laissez-faire.
1.      Gaya Otokratis
“.. is a leader who tells subordinates what to do and expects to be obeyed without question.”
Pemimpin dengan gaya kepemimpinan seperti ini memusatkan segala keputusan dan kebijakan diambil dari dirinya secara penuh. Semua bawahan harus mematuhi dan menerima perintah pemimpin tanpa banyak bertanya.
2.      Gaya Partisipatif
“.. is a leader who involves subordinates in decision making but may retain the final authority.”
Dalam mengambil keputusan, pemimpin juga membuka kesempatan bagi anak buahnya untuk menentukan keputusan terakhir.
3.      Gaya Demokratis
“.. is a person who tries to do what the majority of subordinates desire.”
Dalam kepemimpinan ini, pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan dan selalu mengutamakan kerja tim dalam menyelesaikan suatu masalah. Terjadi banyak komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Selain itu, bawahan juga dapat bekerja dengan mudah karena pemimpin menginformasikan dengan jelas tugas-tugas bawahannya.
4.      Gaya Laissez-Faire
“.. is a leader who is uninvolved in the work of the unit.”
Gaya kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari gaya kepemimpinan otokratis. Disini, pemimpin hanya terlibat dalam kuantitas kecil, jadi para bawahanlah yang aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah. Gaya kepemimpinan ini merupakan gaya yang memberikan kebebasan berekspresi paling besar bagi bawahan.
Setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Perbedaan gaya kepemimpinan tersebut tidak semata-mata karena watak dari pemimpin. Gaya kepemimpinan merupakan wujud dari usaha pemimpin untuk menghadapi anak buahnya yang sangat bervariasi pemikiran dan tingkah lakunya.
Mondy (1991) juga menjelaskan bahwa ada pula empat macam pengelompokan gaya kepemimpinan yang dapat diikuti. Gaya kepemimpinan tersebut adalah S1-Telling, S2-Selling, S3-Participating dan S4-Delegating. Masing-masing dari gaya kepemimpinan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan yang juga merupakan pembeda dari setiap gaya kepemimpinan.
1.      S1 (Telling)
Gaya kepemimpinan ini sangat senang mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan atau bertukar pikiran dengan anak buahnya. Pemimpin bergaya ini selalu memberikan instruksi yang jelas lalu mengawasi secara ketat anak buahnya serta selalu memberikan penilaian tersendiri pada mereka. Jadi pemimpin ini selalu ingin tahu apakah instruksinya sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak. Ciri-ciri khusus dari gaya kepemimpinan ini yaitu:
With the S1 (telling) high-task, low-relationship leadership style, the leader uses one-way communication, defining the objectives and roles of employees and telling employees what, how, when and where to do the work. This style is appropriate for managers dealing with subordinates who lack-relevant readiness¾for ex-sample, those who are relatively new an inexperienced (Mondy, 1991).
Maksud dari pernyataan di atas yaitu gaya kepemimpinan ini menggunakan komunikasi satu arah, jarang terjadi hubungan yang erat antara pemimpin dan anak buahnya serta hanya memberikan tugas-tugas kepada anak buahnya. Pemimpin seperti ini selalu memperlihatkan apa yang dia inginkan dengan jelas. Hal ini tentunya sangat menguntungkan anak buahnya karena mereka akan tahu apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas mereka harus dikerjakan. Namun hal ini juga mengakibatkan rasa ketergantungan yang tinggi anak buah terhadap pemimpinnya. Karena pimpinan mendominasi semua persoalan maka ide dan gagasan anak buah tidak berkembang karena komunikasi satu arah yang dilakukan pemimpinnya. Gaya kepemimpinan seperti ini sangat cocok untuk untuk menghadapi anak buah yang baru bergabung dan memiliki pengalaman serta kemampuan yang terbatas.
2.      S2 (Selling)
Pemimpin bergaya seperti ini melibatkan anak buahnya dalam pengambilan keputusan. Pemimpin tidak hanya membagi persoalannya dengan anak buahnya namun ia juga bersedia mendengarkan apa yang menjadi persoalan anak buahnya. Gaya kepemimpinan ini juga masih menonjolkan kejelasan pemimpin dalam memberikan instruksi meskipun tidak sekaku gaya kepemimpinan S1-telling.
Kelebihan dari gaya kepemimpinan ini adalah mengurangi ketergantungan anak buah terhadap pemimpinnya. Keputusan yang diambil pemimpin akan lebih mewakili tim daripada emosi pribadi pemimpin. Namun efisiensi yang tinggi dalam setiap pengambilan keputusan sulit untuk tercapai. Hal ini karena dibutuhkan waktu yang lebih untuk pembicaraan suatu masalah antara pemimpin dan anak buahnya. Gaya kepemimpinan ini sangat cocok untuk memimpin orang yang respek terhadap kemampuan maupun posisi pemimpin dan memiliki motivasi yang tinggi untuk bekerja sesuai harapan pemimpin namun dengan kemampuan yang terbatas.
3.      S3 (Participating)
Salah satu ciri dari gaya kepemimpinan ini adalah kesediaan pemimpin untuk memberikan tanggung jawab dan kesempatan lebih bagi anak buahnya. Selain itu pemimpin bergaya seperti ini juga memberikan dukungan penuh mengenai apa yang mereka perlukan. Situasi seperti ini tentunya akan mendorong anak buah untuk berkembang dan memacu kreativitas.
As employees exhibit an increase in task-relevant readiness¾as they become more experienced and skilled, as well as more achievement-motivated and more willing to assume responsibility¾the leader should reduce the amount of task be-havior but continue the high level of emotional support and consideration. Continuing a high level of  relationship behavior is the manager’s way of reinforcing the em-ployees’ responsible performance. Thus, the S3 (participating) high-relationship and low-task behavior becomes the appropriate leadership style (Mondy, 1991).
Maksudnya, ketika anak buah sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih maka pemimpin bisa mengurangi instruksi untuk melaksanakan tugas-tugas. Demikian juga terhadap anak buah yang bermotivasi tinggi serta sangat responsif terhadap pemimpin maka tidak perlu memberikan instruksi yang berlebihan. Namun dukungan emosional dari pemimpin harus tetap dijalankan agar tercipta suasana yang menyenangkan dalam bekerja. Gaya kepemiimpinan ini memiliki kelemahan yaitu diperlukan waktu yang lebih lama dalam setiap pengambilan keputusan. Jadi pemimpin harus selalu mennyediakan wakttu yang lebih banyak untuk berdiskusi dengan anak buahnya.
4.      S4 (Delegating)
The S4 (delegating) low-relationship, low-task leadership style goes with the highest level of follower readiness. In this stage, the employees are at a high level of task-relevant readiness. They are skilled and experienced, possess of a high level of achievement motivation, and are capable of exercising self-control. At this point, they no longer need or expect a high level of task behavior from their leader (Mondy,1991).
Maksudnya adalah dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin tidak perlu lagi memberikan instruksi maupun dukungan emosional yang berlebihan kepada anak buahnya. Hal ini dikarenakan mereka sangat responsif dan tanggung jawab tinggi terhadap tugas mereka sendiri. Selain itu mereka juga sudah sangat berpengalaman dan memiliki kemampuan yang sangat bagus. Sehingga mereka tidak membutuhkan perintah yang diperjelas dari pemimpin mereka karena mereka bisa mengontrol diri mereka sendiri.
Kelebihan dari gaya kepemimpinan ini adalah anak buah sangat kreatif dan berkembang. Mereka merasa memiliki semua tugas yang tentu saja akan meringankan beban pemimpin. Selain itu pemimpin juga lebih mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang memerlukan perhatian lebih besar. Sedangkan kekurangan dari gaya kepemimpinan ini adalah saat anak buah membutuhkan keterlibatan pemimpin untuk menyelesaikan suatu masalah, maka ada kecenderungan pemimpin akan mengembalikan persoalan tersebut pada anak buahnya meskipun sebenarnya itu tugas pemimpin. Jadi sering terjadi kerancuan dalam pembagian tugas.
Tipe Kepemimpinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tipe adalah model; corak; contoh. Tipe kepemimpinan dalam buku “Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?”, Kartono (1994)  menyebutkan bahwa ada delapan tipe, yaitu:
1.         Tipe kharismatis
2.         Tipe paternalistis
3.         Tipe militeristis
4.         Tipe otokratis
5.         Tipe laisser faire
6.         Tipe populistis
7.         Tipe administrative
8.         Tipe demokratis.
1.      Tipe Kharismatis
Tipe pemimpin ini memiliki totalitas kepribadian yang memancarkan pengaruh dan daya tarik yang luar biasa. Ia mempunyai keahlian untuk untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin bertipe seperti ini banyak memberi inspirasi, keberanian dan berkeyakinan yang teguh. Keadaan tersebut membuatnya mempunyai banyak pengikut dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Tokoh-tokoh besar yang memiliki tipe kepemimpinan semacam ini antara lain Jengis Khan, Hitler, Gandhi, John F. Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
2.      Tipe Paternalistis
Yaitu tipe kepemimpinan yang lebih seperti sifat bapak kepada anaknya. Pemimpin seperti ini menganggap semua anak buahnya belum dewasa sehingga tidak memperbolehkan anak buahnya mengambil keputusan sendiri. Imajinasi dan kreativitas anak buahnya juga tidak berkembang dengan baik. Sikapnya yang melindungi anak buahnya jugaa sangat berlebihan. Selain itu pemimpin bertipe ini selalu bersikap seolah-olah dialah yang maha tahu dan maha benar.
3.      Tipe Militeristis
Tipe kepemimpinan ini bersifat seolah-olah merupakan kepemimpinan dalam organisasi militer. Pemimpin bertipe ini sangat kaku dan kurang bijaksana. Ia memenghendaki kepatuhan dan disiplin mutlak dari anak buahnya. Saran dan kritikan dari anak buah tidah bisa ia terima. Jadi komunikasi hanya berlangsung satu arah saja.
4.      Tipe Otokratis
Otokrat berasal dari perkataan autos = sendiri, kratos = kekuasaan, kekuatan. Jadi otokrat berarti: kekuasaan absolut. Tipe ini mendasarkan pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipenuhi. Anak buah tidak mendapat informasi yang detail menenai tugas maupun tindakan yang harus dilakukan. Ia selalu menyisihakan diri dari anak buahnya karena ia merasa derajatnya lebih tinggi. Jadi pemimpin bertipe ini ingin berkuasa secara absolute, tunggal dan merajai keadaan.
5.      Tipe Laisser Faire
Pemimpin bertipe ini hanyalah sebagai simbol. Ia tidak punya kemampuan teknis untuk memimpin. Pemimpin ini tidak bisa menciptakan suasana kerja yang kondusif. Ia juga tidak bisa mengontrol kerja anak buahnya. Dia membiarkan orang yang dipimpinnya bekerja semau hatinya. Akibatnya pemimpin ini tidak mempunyai wibawa di mata anak buahnya.

6.      Tipe Populistis
Tipe kepemimpinan seperti ini berusaha untuk menghindari pemaksaan maupun penindasan. Kepemimpinan ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional. Kepemimpinan ini menuntut kemandirian dan tidak bergantung pada pihak luar. Dan akhirnya kepemimpinan tipe ini dapat membangun solidaritas yang erat antar anggota kelompok.
7.      Tipe Administratif
Kepemimpinan yang bertipe semacam ini mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpin bertipe ini merupakan teknokrat maupun administrator yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Selanjutnya dari tipe kepemimpinan ini akan ada perkembangan teknis dan perkembangan sosial di lingkungan kerja.
8.      Tipe Demokratis
Tipe kepemimpinan ini berorientasi pada manusia. Pada kepemimpinan ini terdapat koordinasi pekerjaan pada semua anak buah. Tipe ini lebih menekankan pada rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan kerjasama yang baik. Sebenarnya kekuatan kepemimpinan ini bukan pada pemimpinnya tetapi pada partisipasi aktif setiap sumber daya manusia, potensi dari setiap individu sangat dihargai. Pemimpin yang bertipe kepemimpinan seperti ini selalu mau mendengarkkan kritik dan usulan anak buahnya. Pemimpin ini juga pandai memaksimalkan pemanfaatan kapasitas setiap anak buahnya pada saat yang tepat.

note : dari berbagai sumber

Kepemimpinan ( Sebuah Konsep Teori )


      Konsep Kepemimpinan


Moeljono (2003) menulis tentang ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan sebuah konsep guru kemudian ditransformasikan secara luas ke konsep kepemimpinan. Konsepnya yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Pertama, ing ngarsa sung tuladha. Ngarsa artinya di depan sedangkan tuladha maknanya contoh. Makna dari ajaran ini adalah bahwa sebagai pemimpin dimana pun seyogianya memberi contoh yang baik.
Kedua, ing madya mangun karsa. Madya artinya tengah dan mangun artinya membentuk sesuai keperluan sedangkan karsa artinya kehendak. Sebagai pemimpin jika ingin berhasil dianjurkan untuk dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan menjaga kehendak dan keperluan atasan serta bawahan secara seimbang.
Ketiga, tut wuri handayani. Tut wuri artinya dibelakang sedangkan handayani artinya memberi kekuatan. Sebagai pemimpin kita harus mampu mengasuh bawahan dengan baik, bukan memanjakan tetapi justru memberikan arahan dan rasa aman.

Terori Kepemimpinan 

1. Teori Sifat 

Pada mulanya, timbul suatu pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan, pemimpin bukan dibuat. Pemikiran ini dinamakan pemikiran “hereditary” (turun-temurun). Pada masa berikutnya, timbul suatu teori baru yang dinamakan “physical characteristic theory”. Dikemukakan adanya 76 tipe struktur badan yang berhubungan dengan perbedaan temperamen dan kepribadian. (Sutarto, 1989)

The trait approach to leadership is the evaluation and selection of leaders on the basis of their physical, mental, social, and psychological characteristics. (Mondy, 1991)

Teori sifat kepemimpinan adalah evaluasi dan seleksi dari pemimpin berdasarkan ciri - ciri fisik, mental, sosial, dan karakter psikologi mereka.

Teori sifat kepemimpinan membedakan para pemimpin dari mereka yang bukan pemimpin dengan cara berfokus pada berbagai sifat dan karakteristik pribadi, meliputi ciri – ciri intelektual, emosional, fisik, dan ciri – ciri pribadi lainnya.

2.      Teori Perilaku
Teori perilaku berlandaskan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan (Sutarto, 1989). Teori perilaku pribadi mengkaji perilaku dan dampaknya atas prestasi dan kepuasan para pengikut (Robbins, 2008).

a.    Penelitian Universitas Michigan : Orientasi Pekerjaan dan Orientasi Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan ada dua gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu berorientasi pada pekerjaan (job centered) dan berorientasi pada karyawan (employee centered).
Pemimpin yang berorientasi pekerjaan, mempraktekkan penyeliaan ketat sehingga bawahan melaksanakan tugas mereka dengan menggunakan prosedur yang ditentukan dengan jelas. Jenis pemimpin ini mengandalkan kepemimpinan mereka atas kekuasaan paksaan, imbalan, dan legitimasi untuk mempengaruhi perilaku dan prestasi pengikut. Perhatian atas karyawan dipandang sebagai hal penting, tetapi merupakan barang mewah yang tidak dapat diberikan pemimpin.
Pemimpin yang berorientasi karyawan, yakin tentang perlunya pendelegasian pengambilan keputusan dan upaya membantu karyawan dalam memenuhi kebutuhan mereka dengan menciptakan suatu lingkungan kerja yang mendorong. Pemimpin yang berorientasi karyawan menaruh perhatian akan kemajuan pribadi, pertumbuhan, dan prestasi karyawan. Tindakan ini diasumsikan kondusif untuk menimbulkan dukungan bagi pembentukan dan pengembangan kelompok.


b.    Penelitian Universitas Negeri Ohio : Pemrakarsaan Struktur dan Pertimbangan
Penelitian yang diketuai Fleishman ini menghasilkan teori dua faktor tentang kepemimpinan. Penelitian tersebut memisahkan dua faktor kepemimpinan, yang diacu sebagai pemrakarsa struktur dan pertimbangan.
Pemrakarsa struktur merupakan perilaku dimana pemimpin yang mengorganisasi dan menetapkan hubungan dalam kelompok tersebut, cenderung membentuk pola dan saluran komunikasi yang ditetapkan dengan baik, dan menunjukkan cara – cara penyelesaian pekerjaan. Sedangkan pertimbangan menyangkut perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, respek, kehangatan, dan hubungan antara pemimpin dan pengikut.
Menurut teori ini, variabel yang mempengaruhi hubungan perilaku kepemimpinan dan keefektifan organisasi antara lain pengalaman karyawan, kewenangan, pengetahuan tentang pekerjaan, harapan atas perilaku pemimpin, pengaruh pemimpin ke atas tingkat otonomi, dan desakan waktu (Gibson, 1985).
Teori ini telah dikritik karena kesederhanaannya (misalnya hanya dua dimensi kepemimpinan), kurang kemampuan menyamaratakan, dan mengandalkan jawaban kuesioner untuk mengukur keefektifan kepemimpinan (Robbins, 2008).
Pendekatan keprilakuan pribadi ini telah dipelajari dalam lingkungan keorganisasian yang berbeda. Namun, kedua teori dalam pendekatan keprilakuan pribadi ini belum menunjukkan kaitan antara kepemimpinan dan indikator prestasi yang penting, seperti produksi, efisiensi, dan kepuasan secara meyakinkan (Ivancevich, 2007).
3.    Teori Kontingensi
Tiap – tiap organisasi memiliki ciri khusus, tiap organisasi adalah unik. Bahkan organisasi yang sejenis pun akan menghadapi masalah yang berbeda, lingkungan yang berbeda, pejabat dengan watak serta perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mungkin dipimpin dengan perilaku tunggal untuk segala situasi. Situasi yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang berbeda pula. Oleh karena itu, muncul pendekatan yang disebut “contingency approach”, dinamakan pula “situational approach” (pendekatan situasional) (Sutarto, 1989).
Oleh Fred Luthans, teori kontingensi dirumuskan sebagai hubungan “jika . . ., maka . . .”. “Jika” merupakan variabel lingkungan dan “maka” merupakan variabel manajemen.

a.    Model kepemimpinan kontingensi dari Fiedler
Fiedler menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang dapat menjadi pemimpin yang berhasil dengan hanya menerapkan satu macam gaya untuk segala situasi. Pemimpin itu akan berhasil menjalankan kepemimpinannya apabila menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda untuk menghadapi situasi yang berbeda (Sutarto, 1989). Fiedler tidak optimis bahwa pemimpin bisa dilatih dengan sukses untuk mengubah gaya kepemimpinan mereka, sehingga menurut dia, mengubah situasi merupakan alternatif yang lebih baik (Ivancevich, 2007).

b.    Model kepemimpinan “path-goal” (Evans dan House)
Pendekatan “path-goal” berdasarkan pada model pengharapan yang menyatakan bahwa motivasi individu berdasarkan pada pengharapannya atas imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai sumber imbalan. Pendekatan ini mencoba untuk meramalkan bagaimana perbedaan tipe imbalan dan perbedaan gaya kepemimpinan mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan bawahan. Oleh Stoner, pendekatan “path-goal” digambarkan sebagai pemimpin menjelaskan jalan untuk mencapai tujuan (imbalan) (Sutarto, 1989).

c.    Model kepemimpinan situasional (Paul Hersey dan Kenneth H.Blanchard)

Hersey and Blanchard’s theory is based on the notion that the most effective leadership style varies according to the level of readiness of the followers and the demands of the situation (Mondy, 1991).

Teori Hersey dan Blanchard didasarkan pada gagasan bahwa  kepemimpinan yang efektif bervariasi menurut tingkat kesiapan bawahan dan tuntutan situasi.
Berdasarkan pendekatan situasional, tiada satu jalan terbaik untuk mempengaruhi orang atau tiada satu jalan terbaik untuk memimpin. Pendekatan situasi didasarkan atas hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, serta tingkat kematangan bawahan. (Sutarto, 1989)
Dari berbagai teori diatas, Carl R. Anderson (1988) di dalam buku Management : Skills, Functions, and Organizations Performance menyebutkan bahwa teori situasional merupakan teori yang lebih baik.

“The situational approach is both the most complicated and most useful approach to understanding what leaders do. This is consistent with the complexity of most leadership positions. All the theories emphasize that no one “best” approach to leadership exists, it all depends on the employees managed, the job, and the leader. Each of the theories adds insights to what elements of the situation leaders should consider. Regardless, situational theory is widely accepted by both practitioners and researches. It “makes sense” that leaders must change how they behave from situation to situation.”

Pendekatan situasional adalah pendekatan yang paling rumit dan juga paling berguna untuk mengerti apa yang seharusnya dilakukan pemimpin. Hal ini sesuai dengan kompleksitas dari posisi pemimpin tersebut. Semua teori ini menegaskan bahwa tidak ada satupun pendekatan atau teori kepemimpinan yang sesuai, semuanya tergantung pada pengaturan bawahan, pekerjaan, dan pemimpin. Masing – masing teori memberikan wawasan tentang elemen apa dalam sebuah situasi yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin. Bagaimanapun, teori situasional lebih banyak diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin harus mengubah perilakunya dari situasi yang satu ke situasi yang lain.

 Lets Go....!!!!





Kepemimpinan, Apa Itu ?


Berbicara kepemimpinan, maka kata ini berasal dari kata pemimpin, yang berarti seseorang yang berada di depan dan memimpin suatu perkumpulan atau wadah. Pemimpin adalah manusianya atau orang yang memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah sifat atau gaya perilaku yang melekat pada seseorang yang memimpin. Perkataan leader atau pemimpin itu sendiri mempunyai banyak definisi, sebanyak pribadi yang meminati masalah pemimpin tersebut.
Beberapa definisi dapat disebutkan dibawah ini:
1.    Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai satu atau beberapa tujuan (Kartono, 2004).
2.    Henry Pratt Fairchild (1960) menyatakan bahwa pemimpin dalam pengertian luas ialah seorang dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestige, kekuasaan atau posisi. Dalam pengertian terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
3.    John Gage Allee (1969) menyatakan: “leader...a guide; a conductor; a commander” (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan)
4.    Menurut Peter Drucker, pemimpin adalah individu yang “make things happen”
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengakuan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu.
            Pada awalnya banyak orang berpendirian bahwa kepemimpinan itu tidak dapat dipelajari. Sebab kepemimpinan adalah suatu bakat yang diperoleh orang sebagai kemampuan yang istimewa yang dibawa sejak lahir.  Akan tetapi dalam perkembangan zaman, kepemimpinan itu secara ilmiah kemudian berkembang, bersamaan dengan pertumbuhan scientific management (manajemen ilmiah), yang dipelopori oleh ilmuwan Frederick W. Taylor pada awal abad ke-20 dan dikemudian hari berkembang menjadi satu ilmu kepemimpinan.
            Beberapa definisi mengenai kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1.    Warren Benis mengenai kepemimpinan berkata: “...the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner” (proses dengan mana seorang agen menyebabkan bawahan bertingkah laku menurut satu cara tertentu).
2.    Ordway Tead dalam bukunya “The Art of Leadership” menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3.    George R. Terry dalam bukunya “Principle of Management” berkata kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.
4.    Howard H. Hoyt dalam bukunya “Aspect of Modern Public Administration” menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang.
Dari berbagai definisi di atas dapat diambil  kesimpulan, bahwa kepemimpinan adalah suatu proses atau kegiatan untuk mempengaruhi atau mengarahkan tingkah laku orang lain atau bawahan guna mencapai tujuan organisasi atau kelompok.