Jumat, 01 November 2013

Cara Jokowi Membangun Kepercayaan ( Kolom Rhenald Kasali, kompas.com_Oct.28.2013)

Rhenald Kasali ( @Rhenald Kasali )

KOMPAS.com — Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya berhadapan dengan kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor.
Ya, kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka akan ada kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”, “asal bunyi”, atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka menggenggam ayat yang bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa menaklukkannya, buatlah orang lain membencinya.” Mereka berkampanye agar tidak percaya pada apa yang mereka lihat.
Jadi inti dari perubahan sebenarnya: Mendapatkan kepercayaan. Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan. Jujur dan berani adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal memberikan hope melalui kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan pendekatan khusus untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga hanya "mati" di tangan mereka yang sangat dipercaya publik.
Mengubah resistensi itu sendiri ibarat membuka hati manusia yang terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang terluka untuk membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah, "minta izin membuka hati" ini ada caranya: terlalu lembut tidak tembus, kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.
Demikian juga dalam merespons para penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel, dalam Psychology Today (2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari komunikasi membalas dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga kehormatan dan go beyond yourself (utamakan kontribusi pada publik).

Diplomasi makan malam
Jauh sebelum Jokowi memimpin Jakarta, saya pernah diberitahu pendekatan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam mengatasi berbagai masalah. Semua urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan kalau perut sudah disentuh, hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata juga sama. Bahkan, pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing tas kerja dan jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah Ginza atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita menanggung sama-sama.”
Saat diserang calo tanah dan warga yang tak mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio), kita membaca, Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu cepat. Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan PKL dari tengah kota.
“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan makan malam 54 kali,” ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka akan dipindah. Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya... dan mereka menjawab, 'Iya, Pak...'."
Ia memberikan refleksinya sebagai berikut:
Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung untung ruginya.
Kedua, pada awalnya, setiap diundang makan malam ke Balaikota mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah mereka datang dengan LSM dan advokat-advokat. "Karena itu, saya tak bicara apa-apa, saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada omong-omong," ujarnya.
Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.
Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga yang tinggal di bawah waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin berhadap-hadapan dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia memilih melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah dengan rakyat.

Diplomasi Sentuhan
Blusukan adalah satu hal, tetapi di balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).
Bila mesin saja baru terlihat smart kalau disentuh, apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam perubahan, merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.
Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita saat ia menemani kandidat cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah masjid di daerah Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder, melainkan juga camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa berjualan. Jalan raya tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar bersih.
Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia datang tanpa pengawal, menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan sehingga agak lama baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena Jokowi sama seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak. Pemimpin yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.
Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap karya perubahan. Dan, pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari padi-padi yang harus dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting para pembuat perubahan di tengah-tengah low trust atau bahkan a distrust society.
Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, "If you can not beat them, joint them."  

Dikutip dari Kolom Rhenald Kasali, kompas.com edisi Oct.28.2013

Rabu, 16 Januari 2013

Manajemen Sparepart ( Sebuah Program Pelatihan )


Dear all;

Tak dapat dibayangkan, berapa besar kerugian yang akan ditanggung perusahaan, jika terjadi kerusakan mesin, sementara suku cadang (spare part) mesin tidak tersedia di gudang, dan harus menunggu kedatangan dari supplier selama dua minggu, satu bulan, atau dua bulan?

Pengendalian persediaan suku cadang merupakan salah satu tugas penting dari manajemen dalam suatu perusahaan, untuk memberi dukungan dalam hal pengadaan barang bagi seluruh keperluan pemeliharaan peralatan yang digunakan dalam proses produksi.

Pengendalian suku cadang sangat penting dalam hal : penentuan keputusan suatu barang diperlukan, termasuk perlu atau tidaknya melakukan penyimpanan, kepada siapa pembelian dilakukan, kapan dilakukan pemesanan, apa dan berapa yang dipesan, tingkat dan jaminan mutu suku cadang yang diperlukan, anggaran suku cadang, dan sebagainya.

GARIS BESAR PROGRAM MANAJEMEN SPAREPART
  1. Strategi Penyediaan Barang
    • Barang Persediaan,
    • Trend Perubahan Manajemen Persediaan,
    •  Klasifikasi Manajemen Persediaan, Perawatan dan Pemeliharaan

  1. Pengendalian Persediaan Suku Cadang
    • Spare part Management & Logistik Terpadu,
    • Klasifikasi Suku Cadang,
    • Klasifikasi Peralatan,
    • Perhitungan Pergantian Persediaan,
    • Administrasi suku cadang

  1. Pengendalian Keperluan Overhaul
    • Jenis pemeliharaan Peralatan,
    •  Proses perencanaan overhaul,
    •  Penggunaan rumus Pemesanan,
    • Surplus barang overhaul,
    • Pengontrakan overhaul

  1. Persediaan pengaman dan Kodifikasi Barang
    • Biaya persediaan pengaman,
    • Persediaan pengaman tersembunyi,
    •  Perhitungan persediaan pengaman,
    • Jenis kodifikasi barang,
    • Keuntungan kodifikasi

  1. Pengendalian Spare Part Bermasalah
    • Pengendalian spare part bekas repair, over stock, dead stock, rusak (limbah)

  1. Perencanaan Kebutuhan Stock Spare Part
    • Perencanaan kebutuhan  cadangan,
    • Aplikasi MRP,
    • Penentuan Min-Maks,
    • Penentuan jumlah pembelian yang ideal

  1. Pengukuran Kinerja Divisi Spare Part dengan KPI
    • Jenis-jenis KPI
    • Identifikasi sasaran strategis divisi spare part
    • Menyusun KPI yang SMART untuk divisi spare part
    • Menyusun rencana aksi untuk mencapai KPI
    • Pengukuran dan monitoring KPI

Rabu, 02 Januari 2013

Tanggungjawab Kepemimpinan



 
Dear all;

Selamat tahun baru 2013. Semnagat Baru.

 
Apakah Anda sedang menduduki jabatan penting? 

Pasti. Karena di level manapun saat ini Anda menjabat, maka itu pasti merupakan posisi yang sangat penting. Oleh karenanya, peran Anda untuk memastikan bahwa amanah itu dijalankan dengan baik tentu adalah sangat penting. Ah, itu mah semua orang juga sudah tahu atuh Dang! Betul. Setiap orang sudah tahu soal itu. Tetapi, menurut pendapat Anda; apakah setiap orang yang tahu itu juga sudah memahami hingga dimana cakupan tanggungjawabnya? Ada indikasi kuat kalau orang-orang yang memegang posisi penting sering tidak paham; sampai dimana sih batasan kewenangannya? Efeknya, banyak hal yang seharusnya mereka tangani jadi ‘kelolosi’. Dan, kalau terjadi masalah; mudah sekali untuk mencari kambing hitam. Misalnya, mengatakan jika itu tanggunggjawab bawahannya. Lho, bukankah kinerja bawahan itu tanggungjawab kita sebagai atasannya?  Inilah salah satu bukti, betapa pentingnya memahami cakupan tanggungjawab kita.
 
Warga Jawa Barat sebentar lagi akan melakukan pesta demokrasi. Bisa dibilang istimewa karena diantara 5 pasangan Cagub yang bersaing itu 2 diantaranya adalah Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini. Pak Ahmad Heryawan dan Pak Dede Yusuf akan saling berhadapan memperebutkan kursi nomor 1 di Jabar itu. Beberapa hari lalu, di social media saya menulis begini:   Kalau Pak Ahmad Heryawan dan Pak Dede Yusuf benar-benar ingin dipilih (lagi) menjadi Gubernur Jabar, sebaiknya mengintrospeksi diri dulu; apakah selama ini sudah menjalankan tugasnya dengan baik apa belum. Kalau rakyat seperti saya sih mengukurnya dengan cara sederhana. Misalnya; Bagaimana Bapak Berdua itu menyelesaikan soal sampah yang berserakan di kota Bandung. Saya urang Bandung, sudah lama tidak tinggal disana lagi. Tapi masih suka berkunjung ke Varis Van Java itu. Saya lumayan suka berkunjung ke kota-kota lain di Indonesia juga. Dan soal sampah yang bertumpuk di pojok-pojok kota? Oh, Bandung adalah juaranya. Silakan Bapak Berdua selesaikan dulu masalah itu, barulah mencalonkan diri lagi. Jika tidak, berat untuk memenangkan hati rakyat lagi......”
 
Ada cukup banyak tanggapan dari pembaca. Salah satu tanggapan yang umum adalah menyatakan bahwa soal sampah di kota Bandung itu adalah tanggungjawab Walikota Bandung. Bukan Gubernur dan Wagub Jabar.  Saya, sudah salah alamat menyampaikan aspirasi. Karena, tidak ada hubungan antara kinerja Gubernur & Wagub incumbent dengan menumpuknya sampah di pojok-pojok Varis Van Java itu. Ketahuan sekali jika saya ini bukan ahli politik. Makanya, pernyataan tersebut jadi benar-benar ‘ngawur’.
 
Memang. Pendekatan yang saya lakukan bukanlah pendekatan para ahli politik. Juga bukan pendekatan para jago retorika panggung kampanye pilkada. Lagi pula, saya ini sudah lama Golput. Sampai nanti saya mendapatkan kandidat yang saya yakini bisa memegang amanah. Pendekatan saya lebih banyak didasarkan pada profesi saya sebagai trainer di bidang kepemimpinan. Hukum kepemimpinan itu sebenarnya sederhana. Begini saja kok;”Seorang pemimpin, bertanggungjawab terhadap segala hal yang terjadi di wilayah atau teritori yang dipimpinnya.” Sesederhana itu.
 
Namun implikasi dari hukum sederhana itu luar biasa besarnya. Jika Anda seorang direktur sales, misalnya. Maka kinerja para manager, supervisor, dan salesman di semua area yang menjadi wilayah kerja Anda adalah tanggungjawab Anda. Betul begitu, kan? Anda tidak mungkin mengatakan bahwa Anda tidak mau bertanggungjawab terhadap kinerja suatu teritori yang jeblok salesnya, hanya karena Anda direktur. Padahal sebagai Direktur Sales, kita bertanggungjawab atas kinerja dan cara kerja setiap sales people yang kita pimpin. Inilah yang dimaksud dengan cakupan tanggungjawab seorang pemimpin. Kita, memang tidak harus melakukan pekerjaan itu dengan tangan kita sendiri. Namun amanah dan kewenangan kita mengharuskan kita untuk memastikan bahwa anak buah kita benar-benar menjalankan tugasnya sehingga strategic objective-nya tercapai dengan baik. Dan itu, menggambarkan berjalan atau tidaknya fungsi kepemimpinan kita.
 
Salah satu penyebab terjadinya krisis kepemimpinan – baik dalam konteks penyelenggaraan Negara di pusat dan daerah maupun dalam konteks perusahaan – adalah; lemahnya pemahaman dan komitmen pemimpin tertinggi untuk menjalankan fungsi kepemimpinan sesuai dengan cakupan tanggungjawabnya. Akibatnya, banyak proyek atau tugas yang terbengkalai. Lalu, diakhir tahun mereka melemparkan tanggungjawab ketidaksesuaian kinerja itu kepada anak buahnya. Walhasil, fungsi pemerintahan atau perusahaan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
 
“Ada Perda- nya lho Dang. Kewenangannya ada di Pemda tingkat 2!”  begitu salah satu argument yang saya dapatkan didalam konteks pengelolaan sampah kota Bandung.
 
“Atasan kan tidak boleh mencampuri wilayah yang sudah dipercayakan kepada anak buahnya?” Begitu komentar umum di banyak perusahaan.
 
Kedua argument itu benar. Kita tidak boleh ‘menjamah’ wilayah-wilayah yang sudah diberikan kepada orang lain alias; kita mesti memberi kepercayaan penuh kepada anak buah kita yang bertugas menangani tugas itu.  Perda harus dijalankan. Dan hierarki di perusahaan harus di patuhi. Jika tidak, bisa dituduh melangkahi.
 
Jika seorang pejabat public atau pejabat perusahaan melakukan hal itu, maka dia sudah melakukan pekerjaan dengan benar. Dalam bahasa Inggris, kita menyebutnya; “Do things, right”. Alias melakukan segala sesuatu dengan benar. Contohnya pemimpin yang menutup mata saja dengan kinerja jelek anak buahnya. Biarkan saja, toh itu kan tanggungjawab mereka sesuai Perda, SK dan Jobdescnya. Mereka sudah melakukan tindakan dengan benar.
 
Tetapi ingatkah Anda bahwa “Do things right” itu bukan karakter seorang pemimpin? Itu hanyalah karakter seorang manager. Pasti Anda masih ingat kalimat inilah; Managers do things right,” kan? Anda benar dengan membiarkan anak buah berjalan begitu saja. Toh kinerja buruknya akan disidangkan tersendiri. But, dalam posisi tertinggi itu; kita kan menjalankan fungsi kepemimpinan, bukan managerial. You. Are the leader, not just a manager.
 
 
Coba tanyakan kepada diri sendiri, jika sudah menduduki jabatan tertinggi; Anda ingin disebut sebagai manager atau leader? Kita semua lebih suka disebut sebagai pemimpin kan? Manager mah, masih kurang top. Pemimpin, itu baru keren. Sedangkan fungsi pemimpin itu dicirikan dengan kemampuannya untuk “Do the right things…..” Melakukan hal yang benar. Bukan sekedar melakukan suatu hal dengan benar. Melainkan – sekali lagi – melakukan hal yang benar.
 
Ribet banget sih!
Do things right” dengan “Do the right things” kan sama saja. Paling juga cuman beda tipis!
 
Begini. Jika “melakukan sesuatu dengan benar” itu baru sebatas menjalankan pekerjaan. Entah pekerjaan itu salah atau benar. Baik atau buruk. Tidak peduli. Yang penting sudah dikerjakan. Urusan selesai. Sedangkan “Melakukan hal-hal yang benar” itu mengandung nilai-nilai yang dalam. Ini bukan soal SOP, Jobdescription, atau Perda. Ini soal “Apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pemimpin?”
 
Dengan prinsip itu, maka seorang pemimpin pasti bisa memastikan bahwa kebijakan dan tindakannya benar. Benar apanya? Bukan sekedar benar secara SOP, tetapi benar secara fungsi kita sebagai pemimpin disana.
 
Dalam konteks pengelolaan sampah di kota Bandung, mempercayakan pengelolaannya sepenuhnya kepada Walikota sesuai dengan otonomi tata kelola sampah merupakan contoh tindakan ‘melakukan sesuatu dengan benar’ (do things right). Peraturannya memang demikian, kok. Tetapi, apakah itu merupakan ‘hal yang benar untuk dilakukan’ (do the right things)? Perlu kita renungkan kembali.
 
Yang jelas, gubernur di suatu provinsi adalah orang yang paling bertanggungjawab atas tata kelola segala sesuatu yang berkaitan dengan provinsinya. Maka beliau, berkewajiban kepada rakyat di seluruh wilayahnya untuk memastikan bahwa tata kelola kehidupan bermasyarakat disana bisa berjalan dengan baik. Sehingga jika salah satu fungsi dalam team yang dipimpinnya tidak berjalan dengan baik, beliau berkewajiban untuk memperbaiknya. Kenapa? Karena itulah ‘hal benar’ (the right things) untuk dilakukan (to do) oleh seorang pemimpin. Jika beliau lebih memilih untuk tidak melakukannya karena – misalnya – alasan otonomi daerah; maka beliau hanya menjalankan fungsi managerial, bukan kepemimpinan.
 
Di kantor perusahaan bisnis pun sama. Ada pembagian tugas. Divisi. Departemen. Team. Dan fungsi. Sebagai pemimpin tertinggi, kita tidak sepantasnya merecoki pekerjaan mereka. Itu, jika semua orang dalam posisi strategis bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Jika tidak, maka – sebagai pemimpin – kita mesti mengambil tindakan yang tepat.  Do the right thing, gentlemen….” Begitulah selogan sebuah radio di Bandung di zaman dahulu. Saya tidak tahu apakah radio itu masih ada atau tidak sekarang. Tetapi, saya kira, justru hal itulah yang sekarang perlu dilakukan oleh para pemimpin di Jawa Barat khususnya. Di Indonesia pada umumnya. Dan di perusahaan-perusahaan tempat kita bekerja, secara aktualnya.
 
Kenapa demikian? Karena kita dipilih untuk menjadi pemimpin. Bukan sekedar menjadi manager. Pemegang jabatan tertinggi di perusahaan, pasti akan dinilai. Dievaluasi. Dan ditentukan nasibnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan pemegang jabatan tertinggi di pemerintahan – pusat maupun daerah – akan dinilai juga, dan ditentukan nasibnya oleh rakyat pemilih pada periode berikutnya.
 
Tapi Dang, banyak juga kok pejabat yang tidak bagus kepilih lagi!
Memang. Karena rakyat tidak selalu mempunyai kekuatan untuk memberikan penilaian yang jujur. Terlalu banyak resikonya. Makanya, mereka lebih memilih untuk bersikap aman-aman saja. Sekalipun mereka sadar jika memilih orang yang sama, hanya akan memberikan hasil masa depan yang sama seperti sebelumnya. Dalam hemat saya, hendaknya kita senantiasa sadar. Bahwa, hakekat penilaian itu tidak terletak ditangan rakyat. Melainkan ditangan Sang Maha Pemimpin. Dzat yang menilai secara mutlak. Dzat yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun atau apapun.
 
Jadi, mari kita sama-sama merenungkan kembali; apakah kita sudah menjalankan amanah kepemimpinan ini? Ataukah baru bisa menikmati fasilitas mewahnya saja. Guru mengaji saya pernah menyampaikan sabda rasul yang menjelaskan bahwa; “pemimpin yang adil itu, akan dimudahkan di hari penghisaban padang mahsyar.” Bagaimana dengan pemimpin yang tidak bisa menjalankan amanahnya dengan baik? Kiranya hal ini layak untuk kita renungkan. Baik sebagai pemimpin di lingkungan kecil. Pemimpin di kantor. Terlebih lagi sebagai pejabat publik. Semoga kita semua, bisa menjalankan amanah ini dengan baik. Sehingga ketika kelak pulang menghadap Ilahi, kita bisa dengan gagah berani mengatakan; “Ya Allah, sudah kutunaikan seluruh amanah ini, dengan niat tulus dan hati yang bersih….
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!

Sumber : mailis seorang kawan