Konsep Kepemimpinan
Moeljono
(2003) menulis tentang ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan sebuah konsep
guru kemudian ditransformasikan secara luas ke konsep kepemimpinan. Konsepnya
yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani.
Pertama,
ing ngarsa sung tuladha.
Ngarsa artinya di depan sedangkan tuladha maknanya contoh. Makna dari
ajaran ini adalah bahwa sebagai pemimpin dimana pun seyogianya memberi contoh
yang baik.
Kedua,
ing madya mangun karsa.
Madya artinya tengah dan mangun artinya membentuk sesuai
keperluan sedangkan karsa artinya kehendak. Sebagai pemimpin jika ingin
berhasil dianjurkan untuk dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan
menjaga kehendak dan keperluan atasan serta bawahan secara seimbang.
Ketiga,
tut wuri handayani.
Tut wuri artinya dibelakang sedangkan
handayani artinya memberi kekuatan.
Sebagai pemimpin kita harus mampu mengasuh bawahan dengan baik, bukan
memanjakan tetapi justru memberikan arahan dan rasa aman.
Terori Kepemimpinan
1. Teori Sifat
Pada mulanya,
timbul suatu pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan, pemimpin bukan dibuat.
Pemikiran ini dinamakan pemikiran “hereditary”
(turun-temurun). Pada masa berikutnya, timbul suatu teori baru yang dinamakan “physical characteristic theory”.
Dikemukakan adanya 76 tipe struktur badan yang berhubungan dengan perbedaan
temperamen dan kepribadian. (Sutarto, 1989)
The trait
approach to leadership is the evaluation and selection of leaders on the basis
of their physical, mental, social, and psychological characteristics. (Mondy,
1991)
Teori sifat kepemimpinan adalah
evaluasi dan seleksi dari pemimpin berdasarkan ciri - ciri fisik, mental,
sosial, dan karakter psikologi mereka.
Teori
sifat kepemimpinan membedakan para pemimpin dari mereka yang bukan pemimpin
dengan cara berfokus pada berbagai sifat dan karakteristik pribadi, meliputi
ciri – ciri intelektual, emosional, fisik, dan ciri – ciri pribadi lainnya.
2. Teori
Perilaku
Teori
perilaku berlandaskan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin
ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan
(Sutarto, 1989). Teori perilaku pribadi mengkaji perilaku dan dampaknya atas
prestasi dan kepuasan para pengikut (Robbins, 2008).
a. Penelitian
Universitas Michigan : Orientasi Pekerjaan dan Orientasi Karyawan
Hasil
penelitian menunjukkan ada dua
gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu berorientasi pada pekerjaan (job centered) dan berorientasi pada
karyawan (employee centered).
Pemimpin yang berorientasi pekerjaan,
mempraktekkan penyeliaan ketat sehingga bawahan melaksanakan tugas mereka
dengan menggunakan prosedur yang ditentukan dengan jelas. Jenis pemimpin ini
mengandalkan kepemimpinan mereka atas kekuasaan paksaan, imbalan, dan
legitimasi untuk mempengaruhi perilaku dan prestasi pengikut. Perhatian atas
karyawan dipandang sebagai hal penting, tetapi merupakan barang mewah yang
tidak dapat diberikan pemimpin.
Pemimpin yang berorientasi karyawan,
yakin tentang perlunya pendelegasian pengambilan keputusan dan upaya membantu
karyawan dalam memenuhi kebutuhan mereka dengan menciptakan suatu lingkungan
kerja yang mendorong. Pemimpin yang berorientasi karyawan menaruh perhatian
akan kemajuan pribadi, pertumbuhan, dan prestasi karyawan. Tindakan ini
diasumsikan kondusif untuk menimbulkan dukungan bagi pembentukan dan
pengembangan kelompok.
b. Penelitian
Universitas Negeri Ohio : Pemrakarsaan Struktur dan Pertimbangan
Penelitian
yang diketuai Fleishman ini menghasilkan teori dua faktor tentang
kepemimpinan. Penelitian tersebut memisahkan dua faktor kepemimpinan, yang
diacu sebagai pemrakarsa struktur dan pertimbangan.
Pemrakarsa struktur merupakan
perilaku dimana pemimpin yang mengorganisasi dan menetapkan hubungan dalam
kelompok tersebut, cenderung membentuk pola dan saluran komunikasi yang
ditetapkan dengan baik, dan menunjukkan cara – cara penyelesaian pekerjaan.
Sedangkan pertimbangan menyangkut perilaku yang menunjukkan persahabatan,
kepercayaan timbal-balik, respek, kehangatan, dan hubungan antara pemimpin dan
pengikut.
Menurut teori ini, variabel yang
mempengaruhi hubungan perilaku kepemimpinan dan keefektifan organisasi antara
lain pengalaman karyawan, kewenangan, pengetahuan tentang pekerjaan, harapan
atas perilaku pemimpin, pengaruh pemimpin ke atas tingkat otonomi, dan desakan
waktu (Gibson, 1985).
Teori ini telah dikritik karena
kesederhanaannya (misalnya hanya dua dimensi kepemimpinan), kurang kemampuan
menyamaratakan, dan mengandalkan jawaban kuesioner untuk mengukur keefektifan
kepemimpinan (Robbins, 2008).
Pendekatan keprilakuan pribadi ini
telah dipelajari dalam lingkungan keorganisasian yang berbeda. Namun, kedua
teori dalam pendekatan keprilakuan pribadi ini belum menunjukkan kaitan antara
kepemimpinan dan indikator prestasi yang penting, seperti produksi, efisiensi,
dan kepuasan secara meyakinkan (Ivancevich, 2007).
3.
Teori
Kontingensi
Tiap – tiap organisasi memiliki
ciri khusus, tiap organisasi adalah unik. Bahkan organisasi yang sejenis pun
akan menghadapi masalah yang berbeda, lingkungan yang berbeda, pejabat dengan
watak serta perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mungkin dipimpin
dengan perilaku tunggal untuk segala situasi. Situasi yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan
yang berbeda pula. Oleh karena itu, muncul pendekatan yang disebut “contingency approach”, dinamakan pula “situational approach” (pendekatan
situasional) (Sutarto, 1989).
Oleh Fred Luthans, teori
kontingensi dirumuskan sebagai hubungan “jika . . ., maka . . .”. “Jika” merupakan variabel
lingkungan dan “maka” merupakan variabel manajemen.
a.
Model
kepemimpinan kontingensi dari Fiedler
Fiedler menyatakan
bahwa tidak ada seseorang yang dapat menjadi pemimpin yang berhasil dengan
hanya menerapkan satu macam gaya untuk segala situasi. Pemimpin itu akan
berhasil menjalankan kepemimpinannya apabila menerapkan gaya kepemimpinan yang
berbeda untuk menghadapi situasi yang berbeda (Sutarto, 1989). Fiedler tidak
optimis bahwa pemimpin bisa dilatih dengan sukses untuk mengubah gaya
kepemimpinan mereka, sehingga menurut dia, mengubah situasi merupakan
alternatif yang lebih baik (Ivancevich, 2007).
b. Model
kepemimpinan “path-goal” (Evans dan
House)
Pendekatan “path-goal” berdasarkan pada model
pengharapan yang menyatakan bahwa motivasi individu berdasarkan pada
pengharapannya atas imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada
pemimpin sebagai sumber imbalan. Pendekatan ini mencoba untuk meramalkan
bagaimana perbedaan tipe imbalan dan perbedaan gaya kepemimpinan mempengaruhi
motivasi, prestasi, dan kepuasan bawahan. Oleh Stoner, pendekatan “path-goal” digambarkan sebagai pemimpin
menjelaskan jalan untuk mencapai tujuan (imbalan) (Sutarto, 1989).
c. Model
kepemimpinan situasional (Paul Hersey dan Kenneth H.Blanchard)
Hersey and
Blanchard’s theory is based on the notion that the most effective leadership
style varies according to the level of readiness of the followers and the
demands of the situation (Mondy, 1991).
Teori Hersey dan Blanchard didasarkan pada gagasan
bahwa kepemimpinan yang efektif
bervariasi menurut tingkat kesiapan bawahan dan tuntutan situasi.
Berdasarkan
pendekatan situasional, tiada satu jalan terbaik untuk mempengaruhi orang atau
tiada satu jalan terbaik untuk memimpin. Pendekatan situasi didasarkan atas
hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, serta tingkat kematangan
bawahan. (Sutarto, 1989)
Dari berbagai
teori diatas, Carl R. Anderson (1988) di dalam buku Management : Skills, Functions, and Organizations Performance
menyebutkan bahwa teori situasional merupakan teori yang lebih baik.
“The situational
approach is both the most complicated and most useful approach to understanding
what leaders do. This is consistent with the complexity of most leadership
positions. All the theories emphasize that no one “best” approach to leadership
exists, it all depends on the employees managed, the job, and the leader. Each
of the theories adds insights to what elements of the situation leaders should
consider. Regardless, situational theory is widely accepted by both
practitioners and researches. It “makes sense” that leaders must change how
they behave from situation to situation.”
Pendekatan situasional adalah
pendekatan yang paling rumit dan juga paling berguna untuk mengerti apa yang
seharusnya dilakukan pemimpin. Hal ini sesuai dengan kompleksitas dari posisi
pemimpin tersebut. Semua teori ini menegaskan bahwa tidak ada satupun
pendekatan atau teori kepemimpinan yang sesuai, semuanya tergantung pada
pengaturan bawahan, pekerjaan, dan pemimpin. Masing – masing teori memberikan
wawasan tentang elemen apa dalam sebuah situasi yang harus dipertimbangkan oleh
pemimpin. Bagaimanapun, teori situasional lebih banyak diterima. Hal ini
menunjukkan bahwa pemimpin harus mengubah perilakunya dari situasi yang satu ke
situasi yang lain.
Lets Go....!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar