Jumat, 21 September 2012

Pemberdayaan Karyawan Sebuah Strategi Peningkatan Kualitas SDM

Dear all;


Pemberdayaan karyawan bermakna lebih luas ketimbang istilah partisipasi karyawan. Dalam pemberdayaan terdapat pendelegasian wewenang yang diberikan kepada karyawan tertentu dalam pengambilan keputusan sejauh tidak menyimpang dari kebijakan organisasi. Misalnya ketika pimpinan berhalangan mengkoordinasi rapat tim kerja di unitnya maka dia bisa mendelegasikan kepada seseorang yang dianggap pantas (memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan) untuk memimpin sebuah  rapat. Atau bisa berupa pendelegasian pada ketua tim kerja subunit tetentu untuk menyusun dan mengatur kegiatan dan jadwal kerja. Jadi tampak pemberdayaan karyawan berimplikasi pada kebebasan dan kemampuan karyawan tertentu untuk membuat keputusan dan komitmen; tidak sekedar hanya berbagi informasi dan saran-saran. 
Pemberdayaan menyangkut tentang kewenangan dan penguatan otoritas dari karyawan tertentu. Pasalnya  karena adanya kepercayaan dari pihak manajemen kepada karyawan. Wood, Wallace dan Zeffane dalam Widodo Sunaryo (2009) mengemukakan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah pengembangan mentalitas “mampu berkarya” yang positif dalam diri karyawan (creating a positive “can do” mentality among employees). Mentalitas “mampu berkarya” ini tumbuh dari keyakinan diri para karyawan akan kemampuannya untuk berkarya pada pekerjaannya (self-efficacy). Keyakinan ini ditumbuhkan melalui proses pengembangan kompetensi-kompetensi karyawan, pemberian dorongan dan persuasi terus menerus, serta dukungan emosional dan keteladanan (modelling) dari para pimpinan di dalam kancah kegiatan kerja para karyawan sehari-hari. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemberdayaan adalah aktivitas yang terfokus pada pemberian kekeluasaan (liberating), bukan pengendalian (controlling), kepada karyawan untuk mengaktualisasikan energinya, dan untuk menselaraskan (balancing) pencapaian tujuan pribadi karyawan (pengembangan diri, kesejahteraan, dan lain-lain) dan tujuan yang ditetapkan organisasi (produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan lain-lain).
Hal senada dikemukakan oleh Gibson dalam Widodo Sunaryo (2009) bahwa pemberdayaan karyawan (individual empowerment) adalah pemberian kesempatan dan dorongan kepada para karyawan untuk mendayagunakan bakat, ketrampilan-ketrampilan, sumberdaya-sumberdaya, dan pengalaman-pengalaman mereka untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu. Hasil-hasil yang dicapai dalam menerapkan konsep pemberdayaan di berbagai perusahaan adalah peningkatan efisiensi dan kualitas dalam produksi dan pelayanan.
Walau pemberdayaan merupakan proses pembelajaran  bagi karyawan namun dalam prakteknya tidak semua organisasi sudah melakukannya. Kalau memang ada tetapi tidak semua pengambilan keputusan sisi kebijakan diberikan kepada karyawan. Beberapa hal yang sangat strategis seperti penyusunan anggaran program, perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia, perekrutan dan penseleksian karyawan, masih merupakan keputusan pihak manajemen atau pimpinan
Ada beberapa model atau strategi dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan karyawan, antara lain : pendapat dari Nur Rachmawati Lubis (2011) yaitu dengan strategi Coaching dan counceling, model kepemimpinan situasionalnya Hersey dan Blanchard yaitu upaya untuk memberdayakan karyawan melalui peningkatan “kemampuan dan kemauan” karyawan dan model yang dikemukakan oleh Syarafat Khan.
Proses coaching dan counseling seringkali dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang mendasar di antara kedua proses ini. Sebagai proses yang bertujuan membantu karyawan agar bisa menunjukkan kinerja yang optimal, coaching dan counseling dibedakan berdasarkan jenis sumber masalah yang menghambat kinerja seseorang.
Coaching merupakan sebuah proses bantuan  yang dilakukan ketika karyawan mengalami masalah kinerja yang disebabkan oleh keterbatasan pemahaman terhadap tugasnya. Sedangkan Counseling, merupakan proses bantuan yang dilakukan ketika karyawan mengalami masalah kinerja disebabkan oleh adanya masalah dalam kehidupan pribadinya.  Kebanyakan pemimpin menganggap coaching dan counseling sebagai satu hal, atau bahkan tertukar antara konsep coaching dan counseling.
Strategi pemberdayaan karyawan lainnya adalah dengan penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan level kematangan pengikut yaitu Model kepempinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Model ini mengungkap kan bagaimana pemimpin berupaya untuk meningkatkan level “kematangan’ yaitu “kemampuan” dan “kemauan” karyawan dalam pelaksanaan tugas pekerjaan yang dibebankannya. Model ini mengemukakan bahwa untuk meningkatkan level kematangan seseorang adalah dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan level kematangan orang tersebut. Ada empat gaya kepemimpinan yang diyakini oleh Hersey dan Blanchard mampu mengatasi persoalan karyawan yaitu meningkatkan level kematangan bawahan (= terberdayanya karyawan), jika diterapkan secara konsisten sesuai denganlevel kematangan pengikut.
Sharafat khan dalam Syafrizal Helmi, menawarkan suatu model pemberdayaan yang merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap. Model tersebut adalah sebagai berikut :

1. Desire.  Tahap pertama dalam model empowerment adalah adanya keinginan dari manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja. Yang termasuk hal ini antara lain :
  1. Pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang.
  2. Memperkecil directivepersonality dan memperluas keterlibatan pekerja.
  3. Mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja.
  4. Menggambarkan keahlian team dan melatih karyawan untuk menguasai sendiri (self – control )
2. Trust. Setelah adanya keinginan dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan, langkah selanjutnya adalah membangun kepercayaan antar manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya antara anggota organisasi akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Hal – hal yang termasuk dalam trust antara lain :
  1. Memberi kesempatan pada karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
  2. Menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan kerja.
  3. Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja.
  4. Menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan yang diraih oleh karyawan.
  5. Menyediakan akses informasi yang cukup.
3.  Confident. Langkah selanjutnya setelah adanya saling percaya adalah menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai terhadap kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal – hal yang termasuk tindakan yang dapat menimbulkan confident antara lain :
  1. Mendelegasikan tugas yang penting terhadap karyawan.
  2. Menggali ide dan saran dari karyawan.
  3. Memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen.
  4. Menyediakan jadwal job instruction dan mendorong penyelesaian yang baik.
4. Credibility. Langkah keempat menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Hal yang termasuk credibility antara lain :
  1. Memandang karyawan sebagai partner strategis
  2. Peningkatan target di semua bagian pekerjaan
  3. Memperkenalkan inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi
  4. Membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan priorotas
5.  Accountibility Tahap dalam proses pemberdayaan selanjutnya adalah pertanggung jawaban karyawan pada wewenang yang diberikan. Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan, tahap ini sebagai sarana evaluasi terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. Hal yang termasuk accountability antara lain :
       

       1. Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan
       2. Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas
       3. Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran
       4. Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya 
       5. Menyediakan periode dan waktu pemberian feedback

6. Communication. Langkah terakhir adalah adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antar karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam communication antara lain :
  • Menetapkan kebijakan open door communication
  • Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendistribusikan permasalahan secara terbuka
  • Menciptakan kesempatan untuk cross – training

Pemberdayaan karyawan difokuskan ke karyawan, tingkat terbawah dalam setiap organisasi. Jika dalam organisasi tradisional, karyawan tidak diperhitungkan dalam pembagian kekuasaan (power distribution), dengan pemberdayaan karyawan, kekuasaan justru digali dari dalam diri karyawan

Pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari manajer di atasnya. Jika di dalam pendelegasian wewenang, kekuasaan diberikan oleh manajemen puncak kepada para manajer di bawahnya (bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan karyawan, kekuasaan digali dari dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan karyawan (employee empowerment). Pemberian wewenang oleh manajemen kepada karyawan dilandasi oleh keberdayaan karyawan yang dihasilkan dari proses pemberdayaan yang dilaksanakan oleh manajemen terhadap karyawan.

Oleh karena pemberdayaan karyawan dilaksanakan dengan menggali potensi yang terdapat di dalam diri karyawan, maka pemberdayaan berarti pengembangan kekuasaan, bukan sekadar pendistribusian kekuasaan yang telah ada dan yang telah dimiliki oleh manajemen. Dengan kata lain, pemberdayaan karyawan memberikan keleluasaan kepada karyawan untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Sedangkan pendelegasian wewenang memberikan  kekuasaan yang telah dimiliki oleh manajemen tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di bawahnya.

Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan atau pembebasan, bukan pengendalian energi manusia sebagaimana yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang.

Keyakinan Dasar yang Melandasi Pemberdayaan Karyawan


Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut ini:

a.       Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah. Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak terampil.

b.      Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan karyawan dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, manajer tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Oleh karena konsep pemberdayaan dimulai dari keyakinan bahwa orang pada dasarnya ingin mengerjakan pekerjaan baik, manajer tidak perlu lagi menerapkan metode guna membujuk karyawan untuk mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan manajer harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.

c.       Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada karyawan. Dari pemberdayaan karyawan, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada karyawan, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh karyawan melalui kinerjanya.

Dalam pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena posisinya (position-based power) dan kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada manajer yang lebih rendah posisinya. Manajer yang lebih rendah ini juga menerima wewenang karena posisinya, sehingga dia pun memperoleh position-based power. Sedangkan di dalam pemberdayaan karyawan, karyawan memperoleh wewenang bukan berdasarkan posisinya, namun karena kinerjanya (performance-based power). Tanpa kinerja, karyawan tidak akan mampu menumbuhkan kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based relationship tidak akan dapat terwujud.

Pemberdayaan dari  Sudut Pandang Manajer

Di dalam organisasi masa depan, yang di dalamnya knowledge workers dominan dalam penciptaan produk dan jasa dengan menggunakan smart technology, manajer perlu memandang karyawan sebagai sumber daya yang secara optimum mampu memberikan kontribusi di dalam perwujudan visi organisasi. Agar dapat optimum, manajer perlu mengubah mindset mereka di dalam memandang karyawan, agar pas dengan smart technology yang digunakan oleh organisasi, serta karakteristik pekerja dan pekerjaan mereka.
Menurut Mulyadi (2001: 162) Keyakinan dasar yang perlu dimiliki oleh para manajer untuk mewujudkan mindset pemberdayaan karyawan adalah:
a. Karyawan adalah manusia. Manajer harus memandang sisi manusia dalam diri karyawan, bukan hanya dari sisi pekerjaannya, karena karyawan adalah orang yang usahanya sangat menentukan sukses suatu perusahaan yang membuat produk dan menyediakan jasa bagi customers. Setiap orang dipandang memiliki kemampuan untuk memahami dan memberikan kontribusi dalam mewujudkan visi perusahaan. Manajer harus memandang karyawannya sebagai orang dewasa yang pantas untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar atas pekerjaannya, atas pekerjaan kelompoknya, dan akhirnya atas sukses perusahaan secara keseluruhan.
b. Orang pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang berpikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya. Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan ia harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
c. Birokrasi membunuh inisiatif. Satu aspek organisasi yang paling merusak pemberdayaan adalah berjenjangnya tingkat manajerial. Dalam pemberdayaan karyawan, tanggung jawab atas pekerjaan dikembalikan ke tangan karyawan. Dengan demikian karyawan memperoleh motivasi yang lebih besar terhadap pekerjaan mereka, karena mereka bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, dan organisasi memperoleh penghematan signifikan dengan penghilangan jenjang manajemen yang tidak menambah nilai bagi customer. Manajer harus mengidentifikasi aspek organisasi meskipun kelihatannya efisien, mengajari karyawan untuk tidak mengerjakan, tidak mencoba, dan tidak peduli tentang pekerjaan mereka.
d. Tugas manajer adalah menyediakan pelatihan, teknologi, dan dukungan bagi karyawan. Manajer harus melihat karyawan yang memiliki kesempatan yang harus dikembangkan dan diperluas untuk tujuan pemberian layanan kepada customers”. Manajer bertanggung jawab untuk menyediakan teknologi memadai dan pelatihan bagi karyawan untuk memungkinkan mereka mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan. Di samping itu, manajer harus memberikan dukungan selama proses perubahan karyawan dalam memikul tanggung jawab baru ini. Jika manajer tidak memiliki kesediaan untuk menerima kesalahan dan kegagalan, karyawan akan cenderung kembali ke cara kerja lama yang telah dikenal sebelumnya.
Dalam banyak hal boleh jadi pemberdayaan adalah suatu hal yang dirasa sulit oleh suatu organisasi. Pemberdayaan karyawan tentunya dapat menimbulkan suatu perubahan secara besar –besaran dalam struktur yang telah diterapkan selama ini. Organisasi harus bisa  menghilangkan kendala –kendala yang dapat mencegah macetnya pemberdayaan, seperti birokrasi yang bertele – tele serta pengambilan keputusan yang kurang pas. Sebuah pemberdayaan adalah upaya membongkar dan membangun kembali struktur suatu oraganisasi ataupun perusahaan mulai dari nol.

Clutterbuck (2003:47) terdapat struktur – struktur pemberdayaan yang pas untuk dibangun yaitu:

1.      The Bull’s Eye
Menempatkan pelanggan di tengah dan membangun organisasi diseputar kebutuhan – kebutuhan mereka. Mengesampingkan gagasan tentang hirarki, dan sebagai gantinya menempatkan peran-peran sesuai dengan arti pentingnya bagi custumer.
2.      The Amoeba
Secara konstan mengubah bentuk eksternal dengan membelah diri menjadi unit – unit kecil yang baru.
3.      The Star
Teradopsi oleh organisasi – organisasi yang melayani sejumlah kecil pelanggan yang sangat penting. Organisasi ini seakan menjadi organisasi klien/custumer mereka, seringkali bekerja di tempat custumer dan membangun organisasi-organisasi mereka di seputar kebutuhan-kebutuhan custumer.
4.      Organisasi Boundaryless (Nirbatas)
Organisasi begitu responsive kepada pelanggan. Begitu responsivnya seakan batas-batas antara custumer dan organisasi menjadi begitu kabur sampai tidak ada artinya.
5.      Organisasi Chemical Soup
Dalam struktur yang relatif masih langka ini, tim-tim berevolusi untuk proyek-proyek spesifik, kemudian luruh menjadi kombinasi-kombinasi baru sesuai dengan kebutuhan.
Snyder (1994:112) menyebut bahwa untuk  mewujudkan paradigma pemberdayaan karyawan, perlu ditanamkan personal values dalam diri para manajer yang pas dengan paradigma tersebut, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai:
a.      Kejujuran.
Manajer dan karyawan harus mengatakan keadaan dan kondisi yang sebenarnya antar kedua belah pihak. Manajer  juga harus memberikan informasi yang dimilikinya kepada karyawan untuk memungkinkan karyawan mengambil keputusan secara efektif. Dalam pemberdayaan karyawan, karyawanlah yang diberi tanggung jawab untuk pengambilan keputusan. Dengan menggunakan akses ke data yang sama, menggunakan alat analisis yang sama, dan melakukan analisis yang sama sehingga keputusan bisa di ambil. Hal ini sangat berbeda dengan manajemen tradisional. Pengambilan keputusan serta pemikiran dilaksanakan oleh manajer, pembicaraan dilaksanakan oleh supervisor, dan pelaksanaan dilakukan oleh karyawan
b.      Kerendahan hati.
Pemberdayaan karyawan berarti pemberian tanggung jawab lebih besar kepada karyawan untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, dapat terjadi inisiatif karyawan jauh lebih baik dibandingkan yang dilakukan oleh manajer. Kerendahan hati untuk mengakui kinerja karyawan harus merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manajer, jika pemberdayaan karyawan dikehendaki berhasil dalam suatu organisasi. Tugas manajer adalah membuat karyawan yang berada di bawah wewenangnya menjadi terkenal karena kinerjanya. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh manajer yang memiliki kerendahan hati.



 Pendelegasian Wewenang Versus Pemberdayaan Karyawan

Mulyadi (2003:288) mengungkapkan bahwa secara sepintas pendelegasian wewenang hampir sama dengan pemberdayaan karyawan. Sebenarnya jika dicermati, dua konsep tersebut berbeda secara mendasar. Jika manajemen tidak memahami perbedaan substansi kedua konsep tersebut, manajemen tidak akan mengambil manfaat optimum dari konsep pemberdayaan karyawan, dan akan mengakibatkan manajemen cenderung ke functional fixation.
Pemahaman terhadap perbedaan mendasar di antara keduanya akan meningkatkan kompetensi eksekutif dalam mengimplementasikan secara efektif program pemberdayaan karyawan, sehingga potensi seluruh personel organisasi dapat secara optimum dikerahkan untuk membawa maju organisasi dengan pesat.

Pendelegasian Wewenang

Pada dasarnya organisasi perusahaan bukan merupakan organisasi demokratis, karena kekuasaan yang berada di tangan manajemen puncak tidak berasal dari manajer yang ada di bawahnya dan karyawan. Manajemen puncak tidak dipilih oleh karyawan, namun dipilih oleh rapat umum pemegang saham (sebagai lembaga yang menjadi forumnya para pemilik modal), dan oleh karena itu, wewenang berasal dari lembaga tersebut. Wewenang kemudian didistribusikan oleh manajemen puncak kepada manajer-manajer yang berada di bawahnya melalui mekanisme pendelegasian wewenang.
Konsep Pendelegasian Wewenang
Delegasi wewenang lebih ditujukan kepada manajer, bukan karyawan. Dalam organisasi fungsional hirarkhis, pembagian kekuasaan (power distribution) hanya dilaksanakan di kalangan manajer, tidak sampai kepada karyawan.
Pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer yang lebih atas kepada manajer yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan otorisasi secara eksplisit dari manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang tersebut akan dilaksanakan. Dari definisi pendelegasian wewenang tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
  1. Pendelegasian wewenang dilakukan dari manajer yang lebih tinggi posisinya ke manajer yang lebih rendah (bukan kepada karyawan).
  2. Manajer yang lebih rendah posisinya memerlukan otorisasi secara eksplisit dari manajer pendelegasi wewenang pada waktu akan melaksanakan wewenang yang telah didelegasikan kepadanya.
  3. Pemberian wewenang yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang masih bersifat setengah-setengah. Jika kepada manajer bawah saja manajer tingkat atas mendelegasikan/ wewenang secara setengah-setengah, dapat dibayangkan seberapa rendah tingkat kepercayaan manajemen tingkat atas kepada karyawan untuk pengambilan keputusan.
  4. Pendelegasian wewenang lebih menekankan pada aspek pengendalian dan kepatuhan daripada pemberian kebebasan dalam pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan tersebut. Pengendalian untuk menciptakan kepatuhan bawahan dilakukan oleh manajer jenjang lebih atas melalui tiga instrumen pengendalian, yaitu:
a.       Melalui otorisasi secara eksplisit sebelum wewenang dilaksanakan oleh manajer yang lebih rendah,
b.      Melalui laporan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang yang dibuat oleh manajer tingkat yang lebih rendah ke manajer pemberi wewenang,
c.       Melalui audit kinerja (performance audit) yang dilaksanakan oleh auditor intern.

Di dalam kondisi yang ekstrem, delegasi wewenang dapat berupa gofer delegation, yaitu suatu bentuk delegasi wewenang yang menuntut manajer penerima delegasi wewenang hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh pemberi wewenang.
Kondisi yang Cocok untuk Pendelegasian Wewenang
Sistem pendelegasian wewenang cocok diimplementasikan dalam kondisi berikut ini:
a.       Karyawan terdiri dari tenaga kerja tidak terampil dan tidak terdidik. Di masa lalu, pekerjaan umumnya berupa serangkaian tugas sederhana dan manual yang dilaksanakan oleh pekerja tidak terampil dan tidak terdidik, sehingga pekerjaan semacam itu mudah diamati pelaksanaannya. Atau yang dikenal sebagai organisasi hirarkis, yang mendasarkan prinsip komando dan kepatuhan di dalam menjalankan organisasi yang cocok untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manual, yang dilaksanakan oleh pekerja tidak terampil dan tidak terdidik.
b.      Informasi tidak dapat diakses oleh karyawan karena keterbatasan teknologi yang digunakan untuk mengolah data. Di masa lalu, informasi diolah secara manual, sehingga secara fisik, data dikumpulkan secara terpusat di suatu tempat (tentu saja di bawah penguasaan manajemen tingkat atas) dan secara eksklusif pula dimanfaatkan oleh manajemen tingkat atas. Dengan demikian, karena keterbatasan teknologi pengolahan data ini, wajar jika setiap karyawan akan melaksanakan pekerjaan, mereka memerlukan rantai otorisasi dari para manajer di atas mereka karena di tangan manajer puncaklah informasi yang diperlukan berada.
c.       Lingkungan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan adalah stabil. Lingkungan bisnis yang stabil memberikan toleransi kepada panjangnya rantai komando dalam pengambilan keputusan. Di dalam lingkungan seperti itu, perubahan jarang terjadi, sehingga kecepatan pengambilan keputusan bukan merupakan kebutuhan penting organisasi.
Kultur yang Dihasilkan dari Sistem Pendelegasian Wewenang
Berkaitan dengan cultur, Mulyadi (2003:297) mengemukakan bahwa sistem pendelegasian wewenang yang dikembangkan dalam organisasi traditional membentuk kultur organisasi berikut ini:
  1. Membentuk pemimpin yang berpegang pada kedudukannya (position-based leadership), dan bergaya otoriter yang mengandalkan pada komando untuk memperoleh kepatuhan bawahan. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan pemimpin yang memiliki kekuasaan karena posisi yang didudukinya. Pemimpin seperti ini memiliki gaya kepemimpinan otoriter, yang mengandalkan komando untuk memperoleh kepatuhan dari bawahannya.
  2. Membentuk karyawan yang patuh, tidak kreatif, dan tidak berinisiatif. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan personel yang patuh terhadap perintah, dan karena pengendalian yang diciptakan cenderung berlebihan, sistem ini juga mengakibatkan karyawan tidak mempunyai inisiatif dan tidak kreatif.
  3. Menghasilkan hubungan berdasar ketidakpercayaan (distrust) antara manajer atas dengan manajer di bawahnya. Konsep pendelegasian wewenang menekankan aspek pengendalian dan tidak didasarkan pada trust dalam hubungan antara manajer yang lebih atas dengan manajer bawahannya. Distribusi wewenang dalam organisasi didasarkan pada power-based relationship dimana wewenang bersumber dari manajer tingkat atas, yang memiliki wewenang karena kedudukannya (position-basedpower). Manajer tingkat atas kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya (yang diperoleh karena posisinya tersebut) kepada manajer yang lebih rendah, sehingga terciptalah hubungan berbasis kekuasaan (power-based relationship) antara kedua manajer tersebut.

Prospek bagi Karyawan
Di tempat kerja sekarang, seringkali pekerja memiliki pendidikan lebih tinggi daripada manajernya, terutama di dalam perusahaan berteknologi tinggi. Bahkan umumnya, pekerja memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai pekerjaannya dibandingkan dengan manajer mereka.
Oleh karena itu, pandangan manajemen terhadap karyawan perlu di-up date. Pandangan manajemen terhadap karyawan akan menentukan keberhasilan pengembangan potensi karyawan. Pandangan terhadap karyawan yang mendukung usaha pemberdayaan karyawan adalah:
  1. Orang adalah aktiva organisasi yang paling bernilai dan merupakan keunggulan kompetitif yang paling tinggi. Seberapa canggih teknologi yang dimanfaatkan oleh organisasi dan seberapa maju sistem yang digunakan oleh organisasi dalam menjalankan bisnis, kualitas produk dan jasa yang dihasilkannya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Teknologi dan sistem yang canggih hanya akan produktif di tangan sumber daya manusia yang memiliki komitmen tinggi dan produktif. Oleh karena itu, perlu disadari oleh manajemen bahwa aktiva yang paling bernilai bagi organisasi perusahaan adalah sumber daya manusia.
  2. Gedung dan aktiva tetap lain akan mengalami depresiasi nilainya karena pemakaian, sementara orang memiliki kesempatan untuk bertumbuh dengan berlalunya waktu. Berbeda dengan aktiva tetap, sumber daya manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang selama dimanfaatkan dalam organisasi. Manusia memiliki potensi yang tidak terbatas jika orang menyadarinya dan menggali serta mengembangkan potensi tersebut. Jika manajemen mau dan mampu menyediakan lingkungan dan sistem untuk menyediakan kesempatan bagi karyawan dalam membangun potensi mereka selama bekerja, karyawan akan mencapai tingkat potensi optimum yang diperlukan oleh organisasi untuk maju.
Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya karyawan adalah orang yang melakukan banyak pekerjaan yang sangat menentukan dan bermakna bagi organisasi. Contoh pekerjaan yang dilaksanakan oleh karyawan yang seringkali dipandang tidak bermakna oleh manajemen tradisional: (1) melakukan interaksi dengan customers, (2) melakukan interaksi dengan pemasok, (3) melakukan interaksi dengan mitra bisnis, (4) mengelola dan melakukan improvement terhadap proses, (5) mengubah tuntutan customers ke dalam produk dan jasa.

Cara Pemberdayaan Karyawan

Reynolds (1997:4) menyebut bahwa pemberdayaan karyawan pada dasarnya membentuk karyawan yang produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan karyawan berangkat dari keinginan untuk menggali seluruh potensi yang terdapat dalam diri seiuruh karyawan untuk diarahkan dalarn memajukan organisasi. Untuk menjadikan karyawan produktif, karyawan harus memiliki kompetensi memadai dan produktivitas karyawan sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan kerja yang dibangun di dalam organisasi. Tanpa lingkungan kerja berkualitas, karyawan dengan kompetensi tinggi tidak akan produktif. Oleh karena itu, pemberdayaan karyawan pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjadikan karyawan produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan karyawan hanya dapat diwujudkan melalui:
a.       Pembangunan kompetensi karyawan dan penyediaan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan kompetensi karyawan.
b.      Pembangunan lingkungan kerja berkualitas.
Karyawan yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya memerlukan lingkungan kerja yang menumbuhkan komitmen di dalam dirinya untuk menghasilkan kinerja unggul. Kompetensi karyawan akan menghasilkan produk dan jasa berkualitas di dalam lingkungan kerja yang kondusif, yaitu:
  1. Terdapat kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara manajemen dengan karyawan.
  2. Terdapat komitmen karyawan terhadap misi, visi, core beliefs, dan core values organisasi.
  3. Kesediaan manajemen puncak untuk memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan,
  4. posisi (position-based reward).

Dampak Positif Pemberdayaan Karyawan

Menurut Askenas et.all (1995:43) Pemberdayaan Karyawan paling tidak memiliki dua dampak penting yaitu dampak terhadap struktur organisasi dan terhadap sistem informasi manajemen.. Dampak pemberdayaan terhadap struktur organisasi adalah sebagai berikut:
a.       Organisasi lebih mendatar. Jenjang organisasi dibangun untuk melaksanakan pengendalian terhadap pelaksanaan wewenang yang didelegasikan kepada manajer dibawahnya. Agar pengendalian jauh lebih efektif dalam diri karyawan ditumbuhkan self-imposed control melalui pendidikan, pelatihan, dan penyediaan teknologi memadai sehingga karyawan mampu mengambil keputusan berkualitas dan organisasi dapat mengurangi kebutuhan pengendalian dari pihak lain. Jika karyawan memiliki kemampuan seperti itu, fungsi manajer menengah menjadi tidak relevan, sehingga jenjang manajer menengah dapat dihapus dari struktur organisasi sehingga biaya pengoperasian organisasi menjadi berkurang secara drastis.
b.      Arus informasi terutama ke arah horisontal. Pemberdayaan karyawan menjadikan karyawan mampu merencanakan, mengendalikan, dan mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian arus informasi vertikal tidak lagi diperlukan oleh karyawan, karena karyawan dapat melakukan akses ke pusat informasi dan dapat mengambil keputusan berkualitas atas pekerjaannya. Dengan demikian, orientasi karyawan akan diarahkan ke horisontal, karena di arah itulah customer berada dan ke arah itulah semestinya semua kompetensi karyawan ditujukan.
c.       Kecepatan pengambilan keputusan, yang dapat dinikmati oleh customers. Pemberdayaan karyawan meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh organisasi dalam berhubungan dengan customers.
d.      Berkurangnya distorsi informasi. Rantai komando yang terdapat di dalam sistem pendelegasian wewenang memiliki kelemahan bawaan karena panjangnya rantai komando dan tingginya risiko terdistorsi informasi yang dikomunikasikan. Pemberdayaan karyawan memotong rantai komando tersebut, sehingga mengurangi secara signifikan risiko terdistorsinya informasi yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan.
e.       Komitmen karyawan untuk melakukan improvement meningkat. Orientasi karyawan ke sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer meningkatkan komitmen karyawan terhadap improvement terhadap sistem, karena menimbulkan kesadaran bahwa customer-lah yang menentukan kelangsungan hidup organisasi.
f.       Pergeseran dari responsibility-at-the-top organization ke responsibility-based organization. Di dalam organisasi yang karyawannya telah diberdayakan, tanggung jawab atas jalannya bisnis perusahaan dapat diserahkan sepenuhnya kepada karyawan. Sehingga, organisasi berubah menjadi responsibility-based organization (suatu organisasi yang tanggung jawab atas jalannya bisnis berada di tangan setiap orang dalam organisasi).
  1. Perubahan dari organisasi orang bayaran ke organisasi orang bisnis. Di dalam organisasi yang karyawannya telah diberdayakan, karyawan diberi wewenang untuk akses ke pusat informasi dan untuk mengambil keputusan bisnis yang menjadi tanggung jawabnya. Dan setiap keputusan bisnis yang mengandung risiko dan tanggung jawab untuk menanggung risiko bisnis tersebut, karyawan memperoleh penghargaan yang sepadan. Dengan demikian, karyawan yang berdaya menjadi pelaku-pelaku bisnis, bukan lagi sekadar orang bayaran (hired hands).

Dampak Pemberdayaan Karyawan Terhadap Sistem Informasi Manajemen

Pemberdayaan karyawan akan berdampak terhadap sistem informasi manajemen di bawah ini:
  1. Karyawan menjadi pemakai informasi untuk pengambilan keputusan. Di dalam manajemen kontemporer, pemakai informasi untuk pengambilan keputusan harian adalah karyawan. Bahkan keputusan-keputusan yang dipandang strategik di dalam manajemen tradisional, sekarang dapat dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, ahli desain sistem informasi manajemen perlu menyadari perubahan ini dan memasukkan perubahan ini ke dalam desain sistem informasinya.
  2. Informasi keuangan menjadi tipe informasi yang dibutuhkan oleh karyawan. Pemberdayaan karyawan melibatkan karyawan ke dalam keputusan-keputusan yang berdampak keuangan. Oleh karena itu, sistem informasi akuntansi perlu didesain sehingga karyawan dapat melakukan akses ke pusat informasi akuntansi untuk memungkinkan karyawan mempertimbangkan besarnya cost effective pekerjaan mereka di dalam menghasilkan value bagi customers.

Penutup
            Secara esensial, pemberdayaan karyawan dibutuhkan setiap individu, kelompok bahkan setiap organisasi. Organisasi yang berkeinginan terus maju dan dapat melayani custumernya dengan baik haruslah organisasi yang “luwes” mudah beradaptasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan. Lingkungan organisasi butuh pelayanan, pemeliharaan, dan kemakmuran, hanya karyawan yang berdaya sajalah yang dapat melakukan itu semua. Karyawan yang berdaya tidak secara tiba-tiba atau given mereka harus dibentuk diproses oleh organisasi. Perlu membangun mindset manajemen yang memberikan kesempatan luas bagi personalianya untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensinya, talentanya, komptensinya, bukan lagi bergaya birokrat, dan prosedur yang bertele-tele. Banyak dampak positip dari pemberdayaan karyawan ini dampak yang palng mudah dirasakan adalah, karyawan merasa dipercaya, dihargai, kepuasan kerja mudah dirasakan oleh setiap karyawan komitmen kerja tak lagi masalah bagi organisasi.
            Yang lebih penting adalah dengan pemberdayaan karyawan akan terjadi peningkatan kualitas SDM secara simultan, sehingga produktivitas kerja akan semangkin meningkat.
Mari kita berdayakan karyawan kita. 

Reference:

Heru S ; Membangun Pemberdayaan Karyawan dalam Organisasi
Muhtar Hadi, 2011. Pemberdayaan Karyawan
dll





















1 komentar:

  1. Terimakasih pak atas ilmu yang diberikan. Semoga bisa bermanfaat bagi semua untuk meningkatkan SDM di Indonesia.

    BalasHapus